Search This Blog

Lika-liku Buzzer 'Ideologis' di Era SBY hingga Jokowi

Jakarta, CNN Indonesia -- Pendengung alias buzzer selama ini identik dengan aktivitas promosi hingga kampanye politik saat pemilihan umum. Pembentukan karakter atau produk yang dilakukan oleh buzzer kerap dilakukan untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat.

Irwan Yani, salah satu buzzer politik mengaku sudah menggeluti industri ini sejak 2009 untuk memenangkan salah satu kandidat anggota DPR RI. Pemerintahan saat itu dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono.

Alih-alih mencari keuntungan secara materi, Irwan mengatakan buzzer ada dua tipe: hubungan transaksional dengan motif ekonomi dan berdasarkan idealisme.

"Sebenarnya buzzer berbayar yang membuat imej buzzer jadi buruk karena orientasinya uang. Sementara kalau saya dan tim karena idealisme jadi bukan berorientasi uang," ucap Irwan kepada CNNIndonesia.com di Jakarta, Senin (7/1).

Berbeda dengan buzzer berbayar, menurutnya buzzer atas dasar idealisme hanya semata memberikan bantuan tanpa jaminan menang di daerah tertentu. Dengan begitu, Irwan mengatakan ia dan timnya tidak merasa terbebani untuk menjadikan satu kandidat menang di satu daerah.


Selain atas dasar idealisme, faktor kedekatan dengan sosok yang hendak didengungkan menjadi alasan Irwan tak menjadikan buzzer sebagai sumber penghasilan utamanya.

Hanya saja, di satu titik tertentu ia mengaku tetap butuh mengerahkan buzzer berbayar agar mencapai target memperkenalkan satu kandidat di satu wilayah. Strategi ini ditempuh terlebih jika di area tersebut telah dikuasai partai pesaing atau ormas tertentu.

"Kami baru mengerahkan buzzer berbayar jika sifatnya berat untuk masuk ke satu wilayah, seperti harus menghadapi ormas atau partai lain. Kandidat harus teken ulang kontrak untuk mengerahkan buzzer berbayar dengan konsekuensi ada biaya lebih," ucapnya.

Namun, ia tak menampik jika seluruh dana operasional tetap disiapkan secara personal oleh kandidat untuk mendukung program buzzing. Seluruh dana tersebut digunakan untuk kebutuhan asupan properti seperti kaos dan topi kampanye di satu area.

Saat itu, ia menurut salah satu kandidat yang dibantu merogoh kocek Rp1,5 miliar untuk maju sebagai anggota dewan.


"Ketika itu salah satu anggota dewan menyiapkan dana Rp1,5 miliar, termasuk paket hemat karena saya dan tim sebatas bantu teman. Tapi periode berikutnya, orang yang sama merogoh kocek sampai Rp4 miliar. Hal ini karena konstituen sudah menganggap ia punya uang sehingga harus lebih selektif," jelasnya.
Buzzer Idealis Tidak Melulu Industri TransaksionalIlustrasi buzzer. (Foto: Istockphoto/Urupong)

Keterlibatan buzzer berbayar dilakukan untuk menjangkau pengguna di ranah daring (online) dan luring (offline) secara terus menerus selaam 24 jam. Khusus untuk ranah daring, ia mengatakan timnya lebih mengandalkan Facebook yang dinilai lebih memasyarakat ketimbang Twitter.

Kendati demikian, menurutnya buzzer idealis sejauh ini masih lebih mengandalkan pertemuan langsung. Dengan cara ini, ia mengatakan upaya pengenalan calon dan beserta program-programnya lebih mengena langsung ke konstituen.

Cara ini disebutnya juga lebih cepat karena ia dan tim beserta kandidat anggota dewan bisa bersentuhan langsung dengan konstituen.

"Kegiatan masih menggunakan mulut ke mulut, pada titik tertentu akan kumpulkan semua konstituen untuk langsung dipertemukan dengan calon. Cara ini masih lebih efektif untuk di kota besar dan di daerah," ucapnya.

Pilpres dan Pileg 2019

Jelang pemilihan legislatif dan pemilihan presiden pada April mendatang, Irwan mengatakan kontestasi kali ini lebih susah dibandingkan periode sebelumnya. Ia dan tim menjadi buzzer untuk Pilpres dan dua anggota DPR RI yang hendak mencalonkan kembali.

Diketahui, dua pasangan yang akan bertarung pada April nanti adalah Joko Widodo-Ma'ruf Amin serta Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Calon legislator juga bakal bertarung memperebutkan suara di pelbagai Dapil.

Meski belum ada kesepakatan terkait anggaran biaya, ia mengaku pihaknya sudah melakukan pemetaan wilayah untuk calon yang hendak dipromosikan.

"Untuk caleg sebenarnya ada dua, satu dari kalangan selebritas dan politisi. Dari sisi kami tentu lebih ke politisi karena personalnya menjual dan lebih berbobot. Namun untuk selebritas karena sudah dikenal publik sehingga memiliki pandangan tersendiri," ucapnya.


Sedangkan untuk pemilihan presiden, ia menilai kontestasi kali ini berisiko tinggi lantaran penengah antara kandidat pasangan dari nomor urut satu dan dua. Di sisi lain, ia tak memungkiri jika kandidat capres-cawapres yang diusung terkendala biaya.

Tantangan terbesar menurutnya bukan hanya untuk memenangkan suara di kota-kota besar, tetapi juga di pedesaan. Upaya untuk mendongkrak suara dan meyakinkan konstituen menjadi tantangan yang diakuinya lebih sulit saat bersentuhan dengan masyarakat di pedesaan.

"Masyarakat di pedesaan lebih berat dibandingkan di perkotaan karena pola pikir mereka bukan sekedar ada apanya, tapi apa adanya. Apa yang mereka lihat di televisi, itu yang akan mereka pilih. Ini menjadi tantangan dan tugas besar kami sebagai buzzer," imbuhnya. (evn/asa)

Let's block ads! (Why?)


http://bit.ly/2VGrMnq
January 10, 2019 at 11:42PM from CNN Indonesia http://bit.ly/2VGrMnq
via IFTTT

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Lika-liku Buzzer 'Ideologis' di Era SBY hingga Jokowi"

Post a Comment

Powered by Blogger.